sebuah cerita absurd dan aneh. ntah kenapa dan bagaimana aku bisa punya ide dan menulis seperti ini XD
Cintaku Berawal dan Berakhir di
Jogya-Purworejo
Kurenggangkan tubuh indahku
*fitnah!* sampai bergemeletak layaknya ranting yang dipatahkan oleh seorang
gigolo. Astaghfirullah salah, algojo maksudku! *digampar tante girang XD*.
Setelah semua sendi berirama, "klek klek awawaw" *yang terakhir adalah
suaraku kala menikmati sakitnya peregangan asal itu* aku keluar dari sarang
terindah bagiku dan para tikus juga kecoak sahabatku. Dengan masih berdecak
agar kerumunan sesuatu yang disebut iler tidak menambah daerah ekstratori mereka
di sekitar bibir seksiku, kuseret kaki jenjang ala tukang becakku ke kamar
mandi. Kubasuh wajah yang entah kenapa terasa begitu cantik di pagi hari
*hoax!* dengan air bekas kobokan entah siapa di kamar mandi. Dan dengan segenap
kesadaran yang belum 100% pulih, kupaksa mata indah bola kastiku membuka.
Di cermin terpampang sesosok yang
mirip dengan manusia. Matanya tampak sayu *nggak enak banget kata-katanya!*.
Terlihat disana sisa-sisa air membasahi pipi chubby layaknya penderita
anoreksia akut. Juga hidung yang masih kalah mancung dengan artis Rina Nose
*yang di Sketsa Tawa global tipi, kalo nggak di The Biggest Show di MNC tipi,
tau kan? Nggak tau? Nih gue kasih tipi LCD Samsyong*. Bibir setipis daging
duren montong tampak menyunggingkan senyum yang menurut sosok itu manis, tapi
bagi manusia normal terkesan miris dan mistis.
"Det! Lama
banget di dalem? Tidur atau ngepel kloset lu?" teriak Mba Tella, kakakku
tercinta dari luar kamar mandi.
Aku tersentak seolah mendengar
teriakan kakakku kebakaran bulu hidung. Dengan tergesa aku cebar-cebur, lalu
keluar. Mendapati Kak Tella dengan tampang kingkong PMS menatapku sebal. Aku
awalnya hendak minta maaf karena kelamaan mengagumi rupaku di dalam kamar mandi
sehingga membuatnya lama menanti *ceilah*, tapi saat menyaksikan dengan mata
indah bola kastiku perbuatan Kak Tella, mulutku seakan kehilangan suara.
Gadis 20 tahun itu
bersender di dinding *wajar*. Tangan kirinya berkacak pinggang membawa handuk
*masih normal*. Kaki kirinya ditekuk dan memancat dinding *tak ada yang salah*.
Tapi apa yang dilakukan tangan kanannya, membuatku meringis ngeri. Telunjuknya
tengah mengebor lubang nafasnya mencari harta tersembunyi didalamnya, matanya
merem melek keenakan *hiyeks!*. Dan beberapa detik kemudian telunjuk yang
ujungnya sudah teronggok kotoran kenyal itu melaju pasti ke mulut Kak Tella
yang sedikit terbuka. Setelah memastikan sesuatu tak berbentuk itu mendarat di
giginya, bibir tipis itu terkatup diteruskan gerakan mengunyah. Astaga demi
kucing dan sapi yang nggak mungkin kawin, menjijikkan!
***
Kuangkat pantat teposku saat bus
berwarna biru dengan gambar kuda nungging dan perempuan mangap-mangap yang
menghias badannya datang. Hari ini aku akan ke Purworejo, sebuah wilayah di
Jawa Tengah. Aku menaiki bus jurusan Jogya-Purworejo di Terminal Giwangan
--yang katanya terminal termegah se-Asia Tenggara. Kuedarkan pandangan mencari
kursi yang sekiranya enak didudukin (belagu banget ya gue? *ditimpuk stir
bus*). Aku pilih kursi dekat pintu masuk belakang bus.
Pelan namun pasti kududukkan pantat indahku.
Kuperhatikan aktivitas di luar bus. Banyak penumpang berlalu-lalang disana
*terminal gitu!*. Sekonyong-konyong, mata indah bola kastiku menangkap sebuah
perbuatan ilegal! Bukan, bukan copet. Bukan pengutil, bukan pembuang sampah
sembarangan, juga bukan tukang colek pantat wanita. Pelaku itu ingak-inguk beberapa saat, lalu merapat
ke sebuah dinding pembatas. Bahkan menginjak rerumputan yang bergoyang dengan
kejam. Tangannya sibuk uwak-uwek sesuatu di depan badannya. Lalu setelah
sekiranya tujuannya terlaksana, orang itu celingukan lagi, kemudian kabur. Tau
kan apa yang dia lakuin? Yap! Menempel poster sembarangan! Setelah kuamati,
ternyata itu poster iklan sebuah showroom motor. Kenapa di pasang di terminal
yang merupakan tujuannya orang hendak naik kendaraan umum?
15 menit kemudian bus melaju keluar
dari terminal. Kusenderkan kepalaku di jendela bus, membayangkan betapa
melelahkan perjalanan ini. Demi menjenguk nenek, aku rela terguncang-guncang di
kendaraan yang mulai penuh penumpang ini. Sebenarnya aku malas, tapi saat nenek
memberiku peringatan saat menelepon beberapa hari yang lalu, mau tidak mau aku
harus ke rumahnya.
"Kamu kui lho, Nduk, ndak kangen sama Uti
apa? Besok kesini ya!" ujar nenek yang kupanggil Uti saat menelepon.
"Males, Ti.
Jauh!" jawabku.
"Lha cuman 1.5
jam ngebis ta, Nduk? Pokoke besok minggu kudu kesini. Titik!"
"Ogah!"
kataku keukeuh.
"Woo, nganti
Utimu iki sedo sisuk senin, kecewa kamu, Nduk! (woo, sampai Uti kamu ini
meninggal besok senin, kecewa kamu, Nduk)
Aku hanya menelan ludah mendengar ucapannya.
Makanya sekarang aku tengah meringkuk terpaksa di kursi bus. Huh!
***
Hidungku terusik sebuah aroma.
Wanginya nyaman dan maskulin. Pelan kubuka mata indah bola kastiku yang tadinya
terpejam riyam-riyam *bahasa mana ini? entah*. Tampak di sampingku seseorang
tengah berdiri sedang menaruh barang di bagasi atas tempat duduk bus. Memakai
kaos yang membentuk lekukan di dadanya *otot, woy!*. Wangi yang kucium tadi sepertinya berasal
dari tubuh lelaki ini. Tak lama, penumpang mempesona itu pun duduk di
sampingku.
Alamaakjan! Ganteng nian arek iki! Demi kucing dan kambing yang
nggak mungkin kawin, perfect! Matanya indah dengan bola mata bukan bola
pingpong. Hidungnya mancung seperti Pangeran William *dia mancung nggak
sih?*. Bibir seksinya yang kemudian
tersenyum padaku, membuatku ingin mandi lagi dan menggosok wajahku biar kinclong
dan putih seperti dia.
"Mau kemana, Mba?"
ujarnya merdu.
Oh My! Tadi aku sarapan jengkol
bakar dan nggak gosok gigi lagi. Mulutku kedut-kedut bingung, dilema tingkat
ratu setan, antara menjawab atau hanya plengah-plengeh. Bukan apa-apa, takutnya
dia pingsan terkena racun alami dari mulutku.
"Pu-purworeje, Mas. Lha
Masnya?" kataku akhirnya. Tenang, aku nggak buka mulut lebar-lebar, gigiku
kukatupkan. Mungkin tampangku mirip gadis kebelet pup di bus.
"Sama. Mau pulang kampung,
atau gimana?" tanyanya lagi.
Setelah yakin mulutku tidak
berbahaya bagi makhluk Tuhan seperti dia, aku mulai santai mengobrol seru.
Tenang, aku nggak membuka mulut dengan ekstrim, kok. Aku sadar gigiku yang
ukurannya seperti butiran jagung bunting pasti tak enak dipandang.
Namanya Noe, walaupun dia nggak
pake kupluk seperti vokalis Letto itu, tapi wajah gantengnya bisa dibandingkan.
Hobinya sepak takraw. Oke, aku akui aku bahkan tidak tahu apa itu sepak rawraw
atau apalah. Tapi sepertinya keren jika dia yang memainkan. Rumahnya Purworejo,
dia dari Gunung Kidul menjenguk orangtuanya. Obrolan kami bertambah seru saat
ternyata hobi kami sama, yaitu tidur *apa hubungannya?*
Dan tak lama setelah dia
membeberkan hobi kebanggaannya itu, tiba-tiba tlepik! Kepalanya terkulai di
senderan kursi bus. Astaga gila, ini mah tukang molor tingkat raja setan!
Batinku. Mungkin dia kelelahan. Jadi kumaklumi.
Kupandangi wajah polosnya yang
semulus pantat bayi. Alamaaakk, ruarr biassa ganteng!! Kagak nahan deh, Boo!! Kegiatan
pengagumanku terhenti saat ada suara gaduh di depan sana. Tampak dua bocah
penyanyi jalanan atau bahasa gaulnya pengamen siap-siap konser. Awalnya tak
kugubris. Apalagi aku tak punya receh. Tapi saat kudengar potongan liriknya,
membuatku terdiam menganga.
"Tak sawang-sawang bagus tenan
Rasane aku pengin kenalan
Kenalan ning bis-bisan
Wonge bagus nganggo klambi abang..
(Kulihat-lihat kamu tampan sekali
Rasanya aku ingin kenalan
Kenalan di dalam bis
Orangnya tampan memakai baju merah..)
Keningku berkedut saat menyadari
kaos pemuda ih waw disampingku ini merah. Mata indah bola kastiku jelalatan
berputar-putar saat mendengar lirik lagu pengamen itu lainnya.
"Saiki aku nembe ngalami
Pacaran karo wong Wonosari
Baguse koyo Krisna Mukti
Esemane koyo si Morgan Oey..
(Sekarang aku baru mengalami
Pacaran dengan orang Wonosari
Tampannya seperti Krisna Mukti
Senyumannya seperti si Morgan Oey..)
Nafasku kembang kempis bersamaan dengan
senyumku yang merekah membelah. Entah setan sinting dari mana yang merasuki
otak pas-pasanku. Yang jelas aku tengah membayangkan adegan sarap!
Deburan ombak Pantai Kukup menggema syahdu.
Pasir putih terhampar menentramkan mata yang memandang. Disitu tampak sepasang
manusia yang sedang bercengkerama mesra. Gadis yang memakai selendang ala
mbok-mbok jamu itu berlarian diantara deburan ombak. Dibelakangnya mengejar
seorang pemuda yang berteriak tak kalah manja.
"Deet, Deta sayang,
tungguu.." teriak pemuda itu.
"Mas Noe.. Kejar Deta sampai
kena, haha.." ujar si gadis
*PERINGATAN: sebelum anda muntah membayangkan, akhiri saja
membaca cerita ini!*
"Awas ya, Mas tangkap
lho.."
"Aa... Mas Noe!!
Lepasin!!" ujar gadis itu meronta dipelukan sang pemuda. Suaranya memang
meronta, tapi nadanya bahagia!
Kedua sejoli itu saling menatap.
Kedua bola mata mereka saling melihat. Si gadis sudah tidak sok suci meronta
lagi.
"Deta.." panggil pemuda
itu masih memandangi wajah sang gadis.
"Mas Noe.."
"Deta.."
Kedua wajah itu semakin saling
mendekat. Bumi gonjang-ganjing langit kelap kelip berhias lampu di kota.
Daaan..
"Mbak, receh dong, kan udah
nikmatin lagu saya," ujar seseorang.
Anjir! Kubuka mataku, mendapati
sang pengamen menyodorkan kantong permen sebagai wadah sumbangannya.
"Apa lho? Nikmati apaan!"
kataku acuh.
"Saya tau, Mbak. Dari tadi
merem-merem, senyum-senyum sampai monyongin bibir pas dengerin lagu saya,"
balas pemuda berambut ijuk disetrika itu.
Skak! Gue mat! Dengan berat hati
kurelakan uang bergambar om-om berkumis klimis menyilangkan pedang milikku.
***
Setelah bocah tengil tadi
berlalu, kembali kutolehkan wajahku ke
samping, tempat pemuda yang membuatku gila hampir sejam ini. Astaga maaak! Dia
sedang tidur. Terus apa masalahnya? Masalahnya, dia tidurnya mangap! Baca,
MANGAP! Nggak keren banget kan? Mana bersuara lagi. Pemandangan nggak banget!
Kulemparkan pandanganku keluar
jendela bus. Sudah memasuki wilayah Jawa Tengah ternyata. Berarti tak lama lagi
terminal Purworejo akan kupijak. Itu artinya aku harus berpisah dengan pemuda
menawan ini *lupakan soal mangap tadi!*
Lagi-lagi aku menoleh ke samping,
seakan takut pemuda ini akan lenyap tiba-tiba. Tapi mungkin ini kesalahan
terbesarku, karena sekarang aku tengah ternganga takjub. Mas Noe masih tidur,
masih mangap juga. Tapi kali ini suaranya sungguh mengenaskan.
"Krrhh.. Blupuk blupuk..
Krrhh.."
Nggak paham? Jadi dia mendengkur,
tapi berhubung mangap jadi liurnya meletup-letup di mulutnya. Benar-benar bukan
tampang yang keren! Apalagi tak berapa lama, mulut mangapnya tak kuasa
menampung luapan enzim ptialin pemuda macho itu. Melelerlah cairan kental
bening di sudut bibirnya.
Aku hanya menatapnya bingung. Ingin
membangunkan tapi takutnya dia kaget, kata ibuku kalau orang kaget bangunnya
bisa jadi gila *absurd(?)*. Jadi aku hanya memandanginya kikuk. Layaknya
seorang bocah melihat badut berambut lurus.
"Terminal Purworejo
persiapan!" teriak kondektur di depan sana.
Tampaknya Mas Noe kaget, terbukti
dia tengah geragapan. Apalagi sadar dia ngiler! Buru-buru dilapnya bibirnya
dengan tangan *hieks!*
Setelah bus memasuki terminal, aku
berdiri dari dudukku. Lalu bersiap keluar dari deretan kursi, menyusul Mas Noe
yang sudah duluan. Pikiranku makin kacau membayangkan akan berpisah dengan
pemuda di depanku.
Tiba-tiba bus mengerem mendadak,
aku oleng. Tapi dengan sigap Mas Noe menahan tubuh seseksi Asri Welasku agar
tidak jatuh. Aku hanya tersenyum kikuk. Kikuk karena aku kini dipeluknya. Juga
kikuk saat sadar tangan yang menahanku ini bekas iler!
"Dijemput, Mba?"
tanyanya.
"Iya. Masnya?"
"Sama. Tuh, anak-anak yang
dideket tempat sampah *nggak ada tempat nunggu lain kah?*," tunjuknya.
Tampak beberapa ekor anak kecil
berjingkrak saat aku dan Mas Noe turun dari bus. Makhluk-makhluk ingusan itu
berebut salaman dengan Mas Noe. Aih, kakak yang baik. Kelak akan jadi ayah yang
hebat untuk anak-anakku *ngaco!*
"Mana ibu?" tanya Mas Noe
pada anak-anak itu.
"Mas?" panggil seseorang
dibelakang kami.
Sepertinya suara ini tidak asing?
Kubalikkan badanku secara slow motion. Aku terkejut.
"Sri? Sriyati Semilikiti
Welah-Weleh?" ujarku memastikan apakah wanita di depanku adalah temanku.
"Det-codet odet-odeta?"
tanyanya juga kaget.
Kami tertawa bersama
saat memanggil dengan nama julukan masing-masing.
"Lama ndak ketemu ya, Det? Oh iya,
kenalin. Mas Jumino," kata Sri.
Hekk?? Jumino? Noe? Whatever yang
penting cakep! "Masmu? Kok nggak bilang-bilang punya Mas ganteng?"
tanyaku berbisik.
"Bojoku, Cah! (suamiku, Cah!)
Wu!" ujarnya sambil tertawa.
Aku lagi-lagi ternganga. Jadi Mas
Jumino ini suaminya Sriyati?? Apakah takdir jika kami suka pada orang yang
sama? Dulu saat SD kami rebutan tukang siomay yang ganteng abis.
"Jadi tuyul-tuyul itu, kamu
yang ngebrojolin?" tanyaku sambil menunjuk 4 ekor anak kecil menggelendot
Mas Noe Jumino.
Sri hanya tersenyum mengangguk.
Lalu kami berpisah. Berpisah dengan Mas Noe Jumino. Aku tertawa sendiri
mengingat semua yang terjadi di bus tadi. Kemudian melangkah menuju warung
makan sebelum telepon Om ku minta dijemput.
"Wo o kamu ketahuan
Pacaran lagi dengan dirinya teman baikku
Wo o tapi tak mengapa
Aku tak heran karena dirimu cinta sesaatku"
Suara cempreng pengamen di
sampingku cukup membuatku terusik. Apalagi lagunya. Lalu aku cepat-cepat
beranjak saat HPku berdering. Aku mengorek-orek tasku mencari ponselku.
Brukk!
Aku menabrak seseorang. Oh My!
Gantengnyaaa!! Apakah ada kisah Terminal Purworejo, I'm in love setelah ini?
Wates, 25 Februari 2012
Nazha Neiko
eh.. ngeblog juga to ini anak, hehe
BalasHapus